Diapun mulai membaca isinya:
“Assalamu’alaikum. Ini kali pertama Ayah mencoba menggunakan facebook. Ayah mencoba menambah kamu sebagai teman sekalipun Ayah tidak terlalu paham dengan itu. Lalu Ayah mencoba mengirim pesan ini kepadamu. Maaf, Ayah tidak pandai mengetik. Ini pun kawan Ayah yang mengajarkan. Ayah hanya sekedar ingin mengenang. Bacalah !
Ketika kamu kecil dulu, Ayah masih ingat pertama kali kamu bisa ngomong. Kamu asyik memanggil : Ayah, Ayah, Ayah. Ayah Bahagia sekali rasanya anak lelaki Ayah sudah bisa memanggil-manggil Ayah, sudah bisa me-manggil-manggil Ibunya”.
Ayah sangat senang bisa berbicara dengan kamu walaupun kamu mungkin tidak ingat dan tidak paham apa yang Ayah ucapkan ketika umurmu 4 atau 5 tahun. Tapi, percayalah. Ayah dan Ibumu bicara dengan kamu sangat banyak sekali. Kamulah penghibur kami setiap ketika. Walaupun hanya dengan mendengar gelak tawamu.
Ketika kamu masuk SD, Ayah masih ingat kamu selalu bercerita dengan Ayah ketika membonceng motor tentang apapun yang kamu lihat di kiri kananmu dalam perjalanan.
Ayah mana yang tidak gembira melihat anaknya telah mengetahui banyak hal di luar rumahnya.
Ayah jadi makin bersemangat bekerja keras mencari uang untuk biaya kamu ke sekolah. Sebab kamu lucu sekali. Menyenangkan. Ayah sangat menginginkan kamu menjadi anak yang pandai dan taat beribadah.
Masih ingat jugakah kamu, ketika pertama kali kamu punya HP? Diam-diam waktu itu Ayah menabung karena kasihan melihatmu belum punya HP sementara kawan-kawanmu sudah memiliki.
Ketika kamu masuk SMP kamu sudah mulai punya banyak kawan-kawan baru. Ketika pulang dari sekolah kamu langsung masuk kamar. Mungkin kamu lelah setelah mengayuh sepeda, begitu pikir Ayah. Kamu keluar kamar hanya pada waktu makan saja setelah itu masuk lagi, dan keluarnya lagi ketika akan pergi bersama kawan-kawanmu.
Kamu sudah mulai jarang bercerita dengan Ayah. Tahu-tahu kamu sudah mulai melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi lagi. Kamu mencari kami ketika perlu-perlu saja serta membiarkan kami ketika kamu tidak perlu.
Ketika mulai kuliah di luar kotapun sikap kamu sama saja dengan sebelumnya. Jarang menghubungi kami kecuali diketika mendapatkan kesulitan. Sewaktu pulang liburanpun kamu sibuk dengan HP kamu, dengan laptop kamu, dengan internet kamu, dengan dunia kamu.
Ayah bertanya-tanya sendiri dalam hati. Adakah kawan-kawanmu itu lebih penting dari Ayah dan Ibumu? Adakah Ayah dan Ibumu ini cuma diperlukan ketika nanti kamu mau nikah saja sebagai pemberi restu? Adakah kami ibarat tabungan kamu saja?
Kamu semakin jarang berbicara dengan Ayah lagi. Kalau pun bicara, dengan jari-jemari saja lewat sms. Berjumpa tapi tak berkata-kata. Berbicara tapi seperti tak bersuara. Bertegur cuma waktu hari raya. Tanya sepatah kata, dijawab sepatah kata. Ditegur, kamu buang muka. Dimarahi, malah menjadi-jadi.
Malam ini, Ayah sebenarnya rindu sekali pada kamu.
Bukan mau marah atau mengungkit-ungkit masa lalu. Cuma Ayah sudah merasa terlalu tua. Usia Ayah sudah diatas 60 an. Kekuatan Ayah tidak sekuat dulu lagi.
Ayah tidak minta banyak…
Kadang-kadang, Ayah cuma mau kamu berada di sisi Ayah. Berbicara tentang hidup kamu. Meluapkan apa saja yang terpendam dalam hati kamu. Menangis pada Ayah. Mengadu pada Ayah. Bercerita pada Ayah seperti ketika kamu kecil dulu.
Andaipun kamu sudah tidak punya waktu sama sekali berbicara dengan Ayah, jangan sampai kamu tidak punya waktu berbicara dengan Allah. Jangan letakkan cintamu pada seseorang didalam hati melebihi cintamu kepada Allah. Mungkin kamu mengabaikan Ayah, namun jangan kamu sekali-sekali mengabaikan Allah.
Maafkan Ayah atas segalanya. Maafkan Ayah atas curhat Ayah ini. Jagalah sholat. Jagalah hati. Jagalah iman. ”
Pemuda itu meneteskan air mata, terisak. Dalam hati terasa perih tidak terkira...................
Bagaimana tidak ? Sebab tulisan ayahandanya itu dibaca setelah 3 bulan beliau pergi untuk selama-lamanya.
0 komentar:
Posting Komentar