Imam Bukhori meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi saw bersabda: "Jauhilah
tujuh perkara yang membinasakan". Para sahabat bertanya: "Wahai
Rasulullah, apakah itu? Beliau bersabda: "Syirik kepada Allah, sihir,
membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali dengan haq, memakan
riba, makan harta anak yatim, kabur dari medan peperangan dan menuduh
seorang wanita mu'min yang suci berbuat zina".
Sedangkan sangsi seorang pezina yang telah menikah lebih berat dari yang belum menikah yaitu dibunuh dengan cara dirajam
karena orang itu telah mengetahui dan merasakan kenikmatan dari jima’
dengan pasangannya baik suami atau istrinya melalui suatu akad
pernikahan yang sah menurut syari’at. Sedangkan bagi orang yang
belum menikah dihukum cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun,
sebagaimana dalil-dalil berikut :
1. Firman Allah swt :
الزَّانِيَةُ وَالزَّانِي فَاجْلِدُوا كُلَّ وَاحِدٍ مِّنْهُمَا مِئَةَ جَلْدَةٍ وَلَا تَأْخُذْكُم بِهِمَا رَأْفَةٌ فِي دِينِ اللَّهِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلْيَشْهَدْ عَذَابَهُمَا طَائِفَةٌ مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : “Perempuan yang berzina dan
laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya
seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah
kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah,
dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan
oleh sekumpulan orang-orang yang beriman.” (QS. An Nuur : 2)
2. Dari
Abu Hurairoh ra bahwasanya Rasulullah saw pernah memberikan hukuman
kepada orang yang berzina (belum menikah) dengan hukuman dibuang
(diasingkan) satu tahun dan pukulan seratus kali.” (HR. Bukhori)
3. Rasulullah
saw menanyakan kepada seorang laki-laki yang mengaku berzina,”Apakah
engkau seorang muhshon (sudah menikah)? Orang itu menjawab,’Ya’.
Kemudian Nabi bersabda lagi,’Bawalah orang ini dan rajamlah'.” (HR
Bukhori Muslim)
4. Yang memiliki hak untuk menerapkan
hukuman tersebut hanya khalifah (kepala negara Khilafah Islamiyyah) atau
orang-orang yang ditugasi olehnya seperti qadhi atau hakim . Qadhi
(hakim) memutuskan perkara pelanggaran hukum dalam Mahkahmah pengadilan.
Dalam memutuskan perkara tersebut qadhi itu harus merujuk dan mengacu
kepada ketetapan syara’. Yang harus dilakukan pertama kali oleh qadhi
adalah melakukan pembuktian benarkah pelanggaran hukum itu benar-benar
telah terjadi.
Dalam Islam, ada empat hal yang dapat dijadikan sebagai bukti, yakni:
(1) saksi,
(2) sumpah,
(3) pengakuan, dan
(4) dokumen atau bukti tulisan.
Dalam kasus perzinaan, pembuktian perzinaan ada dua, yakni saksi yang berjumlah empat orang dan pengakuan pelaku. Tentang kesaksian empat orang, didasarkan Qs. an-Nuur 24 : 4.
"Dan
orang-orang yang menuduh wanita-wanita ( muslimah ) yang baik-baik
(berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka
deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah
kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. Dan mereka itulah
orang-orang yang fasik."
Dan untuk pengakuan pelaku, berdasarkan
beberapa hadits. Ma’iz bin al-Aslami, sahabat Rasulullah Saw dan seorang
wanita dari al-Ghamidiyyah dijatuhi hukuman rajam ketika keduanya
mengaku telah berzina.
Selain kedua bukti tersebut, berdasarkan Qs. an-Nuur: 6-9, ada hukum khusus bagi suami yang menuduh isterinya telah berzina.
Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika dia termasuk orang-orang yang berdusta Qs. an-Nuur:7
Istrinya itu dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya empat kali atas nama Allah sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.Qs. an-Nuur: 8
dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.Qs. an-Nuur: 9
Menurut ketetapan ayat tersebut seorang
suami yang menuduh isterinya berzina sementara ia tidak dapat
mendatangkan empat orang saksi, ia dapat menggunakan sumpah sebagai
buktinya. Jika ia berani bersumpah sebanyak empat kali yang menyatakan
bahwa dia termasuk orang-orang yang benar, dan pada sumpah kelima ia
menyatakan bahwa laknat Allah SWT atas dirinya jika ia termasuk yang
berdusta, maka ucapan sumpah itu dapat mengharuskan isterinya dijatuhi
hukuman rajam. Namun demikian, jika isterinya juga berani bersumpah
sebanyak empat kali yang isinya bahwa suaminya termasuk orang-orang yang
berdusta, dan pada sumpah kelima ia menyatakan bahwa bahwa laknat Allah
SWT atas dirinya jika suaminya termasuk orang-orang yang benar, maka
itu dapat menghindarkan dirinya dari hukuman rajam. Jika ini terjadi,
keduanya dipisahkan dari status suami isteri, dan tidak boleh menikah
selamanya. Inilah yang dikenal dengan li’an.
Dikarenakan syaratnya harus ada empat
orang saksi, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman. Pengakuan dari
salah satu pihak tidak dapat menyeret pihak lainnya untuk dihukum. Dalam
hadits riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah di ceritakan bahwa
ada seorang budak laki-laki yang masih bujang mengaku telah berzina
dengan tuan nya perempuan. Kepada dia, Rasulullah menetapkan hukuman
seratus cambukan dan juga di asingkan selama satu tahun. Namun demikian
Rasulullah Saw tidak secara otomatis juga menghukum wanitanya.
Rasulullah Saw memerintahkan Unais (salah seorang sahabat) untuk menemui
wanita tersebut, jika ia mengaku baru ia diterapkan hukuman rajam
(lihat Bulugh al-Maram bab Hudud). Hasil visum dokter juga tidak dapat
dijadikan sebagai bukti perbuatan zina. Hasil visum itu hanya dapat
dijadikan sebagai petunjuk saja.
Tuduhan perzinaan harus dapat dibuktikan dengan bukti-bukti di atas. Tidak boleh menuduh seseorang melakukan zina, tanpa dapat mendatangkan empat orang saksi. Hal
lain dapat berbeda bagi kasus perkosaan. Maka yang memperkosalah yang
akan menghadapi hukuman di atas, sedangkan bagi korbannya di bebaskan
dari hukuman tersebut di atas dan di anggap masih suci bersih
Namun demikian Allah SWT Maha Pengampun
dan Maha penerima taubat hamba-hamba-Nya yang mau kembali kepada-Nya,
bertaubat dengan taubat nasuha, yaitu : memohon ampunan kepada-Nya,
menyesali perbuatan buruknya itu, bertekad untuk tidak mengulanginya di
masa-masa yang akan datang dan melakukan berbagai amal shaleh,
sebagaimana firman Allah swt :
Artinya : “Dan sesungguhnya aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.” (QS. Thaha : 82)
Imam Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik ia berkata; saya mendengar Rasulullah saw berkata: "Allah
tabaraka wa ta'ala berfirman: "Wahai anak Adam, tidaklah engkau berdoa
kepada-Ku dan berharap kepada-Ku melainkan Aku ampuni dosa yang ada
padamu dan Aku tidak perduli, wahai anak Adam, seandainya dosa-dosamu
telah mencapai setinggi langit kemudian engkau meminta ampun kepada-Ku
niscaya aku akan mengampunimu, dan Aku tidak peduli. Wahai anak Adam,
seandainya engkau datang kepada-Ku dengan membawa kesalahan kepenuh bumi
kemudian engkau menemui-Ku dengan tidak mensekutukan sesuatu dengan-Ku
niscaya aku akan datang kepadamu dengan ampunan sepenuh bumi." Abu Isa berkata; hadits adalah hadits hasan gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini.
Untuk itu tidak sepatutnya seorang yang
telah melakukan suatu dosa sekali pun ia adalah dosa besar berputus asa
karena pintu taubat masih terus dibuka selama nyawa belum berada di
tenggorokan dan selama matahari belum terbit dari barat. Bahkan Allah
swt menjanjikan bagi setiap orang yang berdosa lalu bertaubat dengan
sebenar-benarnya akan dihapuskan kesalahannya itu bagaikan seorang yang
tidak dosa serta memberikan kemenangan baginya di akherat dengan
surga-Nya.
Artinya : “Hai orang-orang yang
beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat yang
semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai." (QS. At Tahrim : 8)
Artinya : “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nuur : 31)
Ibnu Majah meriwayatkan dari Abu 'Ubaidah bin Abdullah dari ayahnya dia berkata; Rasulullah saw bersabda: "Orang yang bertaubat dari dosa, bagaikan seorang yang tidak berdosa."
Kemudian hendaklah si pelaku setelah
bertaubat tidak membuka aibnya itu kepada siapapun setelah Allah
menutupi aibnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw ,”Setiap umatku
mendapat pemaafan kecuali orang yang menceritakan (aibnya sendiri).
Sesungguhnya diantara perbuatan menceritakan aib sendiri adalah seorang
yang melakukan suatu perbuatan (dosa) di malam hari dan sudah ditutupi
oleh Allah swt kemudian dipagi harinya dia sendiri membuka apa yang
ditutupi Allah itu.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Walaupun ada jaminan dari Allah SWT
mendapat ampunan bagi yang bertaubat, bukan berarti kita bisa seenaknya
berbuat dosa lalu setelah itu bertaubat karena taubat yang di terima
Allah SWT adalah Taubat nasuha. Taubat yang benar benar sepenuh jiwa dan
tidak pernah di ulangi lagi berbuat dosa.
Wallahu A’lam bi sawab,
wasalamualaikum wr,wb
0 komentar:
Posting Komentar