Sementara Imam Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i mengatakan :“ orang yang meninggalkan adalah fasik dan tidak kafir”, namun, mereka berbeda pendapat mengenai hukumannya, menurut Imam Malik dan Syafi’i “diancam hukuman mati sebagai hadd”, dan menurut Imam Abu Hanifah “diancam hukuman ta’zir, bukan hukuman mati”.
Apabila
masalah ini termasuk masalah yang diperselisihkan, maka yang wajib
adalah dikembalikan kepada kitab Allah subhaanahu wa ta’aala dan sunnah
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, karena Allah subhaanahu wa
ta’aala berfirman :
وما اختلفتم فيه من شيء فحكمه إلى الله
“Tentang sesuatu apapun yang kamu perselisihkan, maka putusannya dikembalikan kepada Allah.” ( QS. As Syura, 10 ).
Dan Allah Ta'ala juga berfirman :
فإن تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر ذلك خير وأحسن تأويلا
“Jika kamu belainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( As Sunnah ),
jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang
demikian itu lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya.” ( QS. An
Nisa’, 59 ).
Oleh karena masing masing pihak yang berselisih
pendapat, ucapannya tidak dapat dijadikan hujjah terhadap pihak lain,
sebab masing masing pihak menganggap bahwa dialah yang benar, sementara
tidak ada salah satu dari kedua belah pihak yang pendapatnya lebih patut
untuk diterima, maka dalam masalah tersebut wajib kembali kepada juri
penentu diantara keduanya, yaitu Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam.
Kalau kita kembalikan perbedaan pendapat
ini kepada Al Qur’an dan As Sunnah, akan kita dapatkan bahwa Al Qur’an
maupun As Sunnah keduanya menunjukkan bahwa orang yang meninggalkan
shalat adalah kafir, dan kufur akbar yang menyebabkan ia keluar dari
islam.
PERTAMA : DALIL DARI AL QUR’AN :
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman dalam surat At Taubah :
فإن تابوا وأقاموا الصلاة وآتوا الزكاة فإخوانكم في الدين
“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, maka (mereka itu ) adalah saudara saudaramu seagama.” ( QS. At
Taubah, 11 ).
Dan dalam surat Maryam, Allah berfirman :
فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا إلا من تاب وآمن وعمل صالحا فأولئك يدخلون الجنة ولا يظلمون شيئا
“Lalu datanglah sesudah mereka pengganti (yang jelek) yang
menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui kesesatan, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal shaleh, maka mereka itu akan masuk surga dan tidak akan
dirugikan sedikitpun.” (QS. Maryam, 59-60 ).
Relevansi ayat
kedua, yaitu yang terdapat dalam surat Maryam, bahwa Allah berfirman
tentang orang orang yang menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa
nafsunya : ” kecuali orang yang bertaubat, beriman …”. Ini menunjukkan bahwa mereka ketika menyia nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsu adalah tidak beriman.
Dan
relevansi ayat yang pertama, yaitu yang terdapat dalam surat At Taubah,
bahwa kita dan orang orang musyrik telah menentukan tiga syarat :
· Hendaklah mereka bertaubat dari syirik.
· Hendaklah mereka mendirikan shalat, dan
· Hendaklah mereka menunaikan zakat.
Allah Ta’ala berfirman,
َخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا
الشَّهَوَاتِ فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ
وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang
menyia-nyiakan shalat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” (QS. Maryam : 59-60)
Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhuma mengatakan bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut
adalah sungai di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan, yang
tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
”kecuali orang yang bertaubat, beriman dan beramal saleh”. Maka seandainya orang yang menyiakan shalat adalah mu’min, tentu dia tidak dimintai taubat untuk beriman.
Jika
mereka bertaubat dari syirik, tetapi tidak mendirikan shalat dan tidak
pula menunaikan zakat, maka mereka bukanlah saudara seagama dengan kita.
Begitu pula, jika mereka mendirikan shalat, tetapi tidak menunaikan zakat maka mereka pun bukan saudara seagama dengan kita.
Persaudaraan
seagama tidak dinyatakan hilang atau tidak ada, melainkan jika
seseorang keluar secara keseluruhan dari agama ; tidak dinyatakan hilang
atau tidak ada karena kefasikan dan kekafiran yang sederhana
tingkatannya.
Cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala dalam ayat Qishash karena membunuh :
فمن عفي له من أخيه شيء فاتباع بالمعروف وأداء إليه بإحسان
“Maka barang siapa yang diberi maaf oleh saudaranya,
hendaklah ( yang memaafkan ) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah ( yang diberi maaf ) membayar ( diyat ) kepada yang memberi
maaf dengan cara yang baik ( pula ).” ( QS. Al Baqarah, 178 ).
Dalam
ayat ini, Allah subhaanahu wa ta’aala menjadikan orang yang membunuh
dengan sengaja sebagai saudara orang yang dibunuhnya, padahal pidana
membunuh dengan sengaja termasuk dosa besar yang sangat berat
hukumannya, Karena Allah Subhaanahu wa ta’aala berfirman :
ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاؤه جهنم خالدا فيها وغضب الله عليه ولعنه وأعد له عذابا أليما
“Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan
sengaja, maka balasannya ialah neraka jahannam, kekal ia didalamnya dan
Allah murka kepadanya dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar
baginya.” ( QS. An Nisa’, 93 ).
Kemudian cobalah anda perhatikan firman Allah subhaanahu wa ta’aala tentang dua golongan dari kaum mu’minin yang berperang :
وإن طائفتان من المؤمنين اقتتلوا فأصلحوا بينهما, فإن بغت إحداهما على
الأخرى فقاتلوا التي تبغي حتى تفيء إلى أمر الله، فإن فاءت فأصلحوا بينهما
بالعدل وأقسطوا إن الله يحب المقسطين، إنما المؤمنون إخوة فأصلحوا بين
أخويكم .
“Dan jika ada dua golongan dari orang orang mu’min berperang,
maka damaikanlah antara keduanya, jika salah satu dari dua golongan itu
berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan
yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali ( kepada perintah
Allah ), maka damaikanlah antara keduannya dengan adil dan berlaku
adillah, sesungguhnya Allah menyukai orang orang yang berbuat adil,
sesungguhnya orang orang mu’min adalah bersaudara, karena itu
damaikanlah antara kedua saudaramu…” ( QS. Al Hujurat, 9 ).
Di
sini Allah subhaanahu wa ta’aala menetapkan persaudaraan antara pihak
pendamai dan kedua pihak yang berperang, padahal memerangi orang mu’min
termasuk kekafiran, sebagaimana disebutkan dalam hadits shoheh yang
diriwayatkan oleh Imam Bukhori dan periwayat yang lain, dari Ibnu Mas’ud
rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam
bersabda :
سباب المسلم فسوق وقتاله كفر
“Menghina seorang Muslim adalah kefasikan, dan memeranginya adalah kekafiran.”
Namun
kekafiran ini tidak menyebabkan keluar dari Islam, sebab andaikata
menyebabkan keluar dari islam maka tidak akan dinyatakan sebagai saudara
seiman. Sedangkan ayat suci tadi telah menunjukkan bahwa kedua belah
pihak sekalipun berperang mereka masih saudara seiman.
Dengan
demikian jelaslah bahwa meninggalkan shalat adalah kekafiran yang
menyebabkan keluar dari Islam, sebab jika hanya merupakan kefasikan saja
atau kekafiran yang sederhana tingkatannya ( yang tidak menyebabkan keluar dari Islam
) maka persaudaraan seagama tidak dinyatakan hilang karenanya,
sebagaimana tidak dinyatakan hilang karena membunuh dan memerangi orang
mu’min.
Jika ada pertanyaan : apakah anda berpendapat bahwa orang
yang tidak menunaikan zakat pun dianggap kafir, sebagaimana pengertian
yang tertera dalam surat At Taubah tersebut ?
Jawabnya adalah :
orang yang tidak menunaikan zakat adalah kafir, menurut pendapat
sebagian ulama, dan ini adalah salah satu pendapat yang diriwayatkan
dari Imam Ahmad Rahimahullah.
Akan tetapi pendapat yang kuat
menurut kami ialah yang mengatakan bahwa ia tidak kafir, namun diancam
hukuman yang berat, sebagaimana yang terdapat dalam hadits hadits Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam, seperti hadits yang dituturkan oleh Abu
Hurairah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wassalam
ketika menyebutkan hukuman bagi orang yang tidak mau membayar zakat,
disebutkan dibagian akhir hadits :
" ثم يرى سبيله إما إلى الجنة وإما إلى النار ".
“ … Kemudian ia akan melihat jalannya, menuju ke sorga atau ke neraka.”
Hadits ini diriwayatkan secara lengkap oleh Imam Muslim dalam bab “dosa orang yang tidak mau membayar zakat”.
Ini
adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menunaikan zakat
tidak menjadi kafir, sebab andaikata menjadi kafir, tidak akan ada jalan
baginya menuju sorga.
Dengan demikian manthuq (yang tersurat)
dari hadits ini lebih didahulukan dari pada mafhum ( yang tersirat )
dari ayat yang terdapat dalam surat At Taubah tadi, karena sebagaimana
yang telah dijelaskan dalam ilmu ushul fiqh bahwa manthuq lebih
didahulukan dari pada mafhum.
KEDUA : DALIL DARI AS SUNNAH :
1- Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah rodhiallohu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" إن بين الرجل وبين الشرك والكفر ترك الصلاة ".
“Sesungguhnya ( batas pemisah ) antara seseorang dengan
kemusyrikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” ( HR. Muslim,
dalam kitab al iman ).
2- Diriwayatkan dari Buraidah bin Al
Hushaib rodhiallohu ‘anhu, ia berkata : aku mendengar Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" العهد الذي بيننا وبينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر ".
“Perjanjian antara kita dan mereka adalah shalat, barang
siapa yang meninggalkannya maka benar benar ia telah kafir.” ( HR. Abu
Daud, Turmudzi, An Nasai, Ibnu Majah dan Imam Ahmad ).
Yang
dimaksud dengan kekafiran di sini adalah kekafiran yang menyebabkan
keluar dari Islam, karena Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam
menjadikan shalat sebagai batas pemisah antara orang orang mu’min dan
orang orang kafir, dan hal ini bisa diketahui secara jelas bahwa aturan
kafir tidak sama dengan aturan Islam, karena itu, barang siapa yang
tidak melaksanakan perjanjian ini maka dia termasuk golongan orang
kafir.
3- Diriwayatkan dalam shoheh Muslim, dari Ummu Salamah Radliallahu anha, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" ستكون أمـراء ، فتعرفون وتنكـرون ، فمن عرف برئ ، ومن أنكـر سلم ، ولكن من رضي وتابع ، قالوا : أفلا نقاتلهم ؟ قال : لا ما صلوا ".
“Akan ada para pemimpin, dan diantara kamu ada yang
mengetahui dan menolak kemungkaran kemungkaran yang dilakukan, barang
siapa yang mengetahui bebaslah ia, dan barang siapa yang menolaknya
selamatlah ia, akan tetapi barang siapa yang rela dan mengikuti, ( tidak
akan selamat ), para sahabat bertanya : bolehkah kita memerangi mereka
?, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam menjawab :” Tidak, selama
mereka mengerjakan shalat.”
4- Diriwayatkan pula dalam
shaheh Muslim, dari Auf bin Malik rodhiallohu ‘anhu ia berkata :
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
" خيار أئمتكم الذين تحبونهم ويحبونكم، ويصلون عليكم وتصلون عليهم،
وشرار أئمتكم الذين تبغضونهم ويبغضونكم، وتلعنونهم ويلعنونكم، قيل: يا
رسـول الله، أفلا ننابذهم بالسيف ؟ قال : لا، ما أقاموا فيكم الصلاة ".
“Pemimpinmu yang terbaik ialah mereka yang kamu sukai dan
merekapun menyukaimu, serta mereka mendoakanmu dan kamupun mendoakan
mereka, sedangkan pemimpinmu yang paling jahat adalah mereka yang kamu
benci dan merekapun membencimu, serta kamu melaknati mereka dan
merekapun melaknatimu, beliau ditanya : ya Rasulallah, bolehkan kita
memusuhi mereka dengan pedang ?, beliau menjawab :” tidak, selama mereka
mendirikan shalat dilingkunganmu.”
Kedua hadits yang
terahir ini menunjukkan bahwa boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin
dengan mengangkat senjata bila mereka tidak mendirikan shalat, dan
tidak boleh memusuhi dan memerangi para pemimpin, kecuali jika mereka
melakukan kakafiran yang nyata, yang bisa kita jadikan bukti dihadapan
Allah nanti, berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Ubadah bin Ash
Shamit rodhiallohu ‘anhu :
دعانا رسول الله صلى الله عليه وسلم، فبايعناه ، فكان فيما أخذ علينا
أن بايعنا على السمع والطاعة في منشطنا ومكرهنا وعسرنا ويسرنا وأثرة علينا ،
وأن لا ننازع الأمـر أهله، قال : إلا أن تروا كفرا بواحا عندكم من الله
فيه برهان.
“Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam telah mengajak kami,
dan kamipun membaiat beliau, diantara bai’at yang diminta dari kami
ialah hendaklah kami membai’at untuk senantiasa patuh dan taat, baik
dalam keadaan senang maupun susah, dalam kesulitan maupun kemudahan, dan
mendahulukannya atas kepentingan dari kami, dan janganlah kami
menentang orang yang telah terpilih dalam urusan ( kepemimpinan ) ini,
sabda beliau :” kecuali jika kamu melihat kekafiran yang terang terangan
yang ada buktinya bagi kita dari Allah.”
Atas dasar ini,
maka perbuatan mereka meninggalkan shalat yang dijadikan oleh Nabi
Shalallahu ‘alaihi wassalam sebagai alasan untuk menentang dan memerangi
mereka dengan pedang adalah kekafiran yang terang terangan yang bisa
kita jadikan bukti dihadapan Allah nanti.
Tidak ada satu nash
pun dalam Al Qur’an ataupun As Sunnah yang menyatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, atau dia adalah mu’min. kalaupun
ada hanyalah nash nash yang menunjukkan keutamaan tauhid, syahadat “La
ilaha Illallah wa anna Muhammad Rasulullah”, dan pahala yang diperoleh
karenanya, namun nash nash tersebut muqoyyad (dibatasi ) oleh ikatan
ikatan yang terdapat dalam nash itu sendiri, yang dengan demikian tidak
mungkin shalat itu ditinggalkan, atau disebutkan dalam suatu kondisi
tertentu yang menjadi alasan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat,
atau bersifat umum sehingga perlu difahami menurut dalil dalil yang
menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat, sebab dalil dalil
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat bersifat
khusus, sedangkan dalil yang khusus itu harus didahulukan dari pada
dalil yang umum.
Jika ada pertanyaan : apakah nash nash
yang menunjukkan kekafiran orang yang meninggalkan shalat itu tidak
boleh diberlakukan pada orang yang meninggalkannya karena mengingkari
hukum kewajibannya ?
Jawab : tidak boleh, karena hal itu akan mengakibatkan dua masalah yang berbahaya :
Pertama : menghapuskan atribut yang telah ditetapkan oleh Allah dan dijadikan sebagai dasar hukum.
Allah
telah menetapkan hukum kafir atas dasar meninggalkan shalat, bukan atas
dasar mengingkari kewajibannya, dan menetapkan persaudaraan seagama
atas dasar mendirikan shalat, bukan atas dasar mengakui kewajibannya,
Allah tidak berfirman :” jika mereka bertaubat dan mengakui kewajiban
shalat”, Nabi Muh
KONSEKWENSI HUKUM KARENA RIDDAH YANG DISEBABKAN KARENA MENINGGALKAN SHALAT ATAU SEBAB YANG LAINNYA
Ada beberapa kosekwensi hukum baik yang bersifat duniawi, maupun ukhrawi, yang terjadi karena riddah ( keluar dari Islam ) :
KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT DUNIAWI :
1- Kehilangan haknya sebagai wali.
Oleh
karena itu, dia tidak boleh sama sekali dijadikan wali dalam perkara
yang memerlukan persyaratan kewalian dalam Islam, dengan demikian, ia
tidak boleh dijadikan wali untuk anak anaknya atau selain mereka, dan
tidak boleh menikahkan salah seorang putrinya atau putri orang lain yang
dibawah kewaliannya.
Para ulama fiqh kita - Rahimahumullah –
telah menegaskan dalam kitab kitab mereka yang kecil maupun besar, bahwa
disyaratkan beragama islam bagi seorang wali apabila mengawinkan wanita
muslimah, mereka berkata : “ tidak sah orang kafir menjadi wali untuk
seorang wanita muslimah.”
Ibnu Abbas rodhiallohu ‘anhu berkata : “
Tidak sah suatu pernikahan kecuali disertai dengan seorang wali yang
bijaksana, dan kebijaksanaan yang paling agung dan luhur adalah agama
Islam, sedang kebodohan yang paling hina dan rendah adalah kekafiran,
kemurtaddan dari Islam.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
ومن يرغب عن ملة إبراهيم إلا من سفه نفسه
“Dan tidak ada yang benci kepada agama Ibrahim, melainkan orang yang memperbodoh dirinya sendiri …” ( QS. Ibrahim, 130 ).
2- Kehilangan haknya untuk mewaris harta kerabatnya.
Sebab
orang kafir tidak boleh mewarisi harta orang Islam, begitu pula orang
Islam tidak boleh mewarisi harta orang kafir, berdasarkan hadits Nabi
yang diriwayatkan dari Usamah bin Zaid rodhiallohu ‘anhu, Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda :
لا يرث المسلم الكافر ولا الكافر المسلم.
“Tidak boleh seorang muslim mewarisi orang kafir, dan tidak
boleh orang kafir mewarisi orang muslim.” ( HR. Bukhori dan Muslim ).
3- Dilarang baginya untuk memasuki kota Makkah dan tanah haramnya.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
يا أيها الذين آمنوا إنما المشركون نجس فلا يقرب المسجد الحرام بعد عامهم هذا
“Hai orang orang yang beriman, sesungguhnya orang orang
musyrik itu najis, maka janganlah mereka mendekati Al Masjidil Haram
sesudah tahun ini …” ( QS. At Taubah, 28 ).
4- Diharamkan makan hewan sembelihannya.
Seperti
onta, sapi, kambing, dan hewan lainnya, yang termasuk syarat dimakannya
adalah sembelih, karena salah satu syarat penyembelihannya adalah bahwa
penyembelihnya harus seorang muslim atau ahli kitab ( Yahudi dan
Nasrani ), adapun orang murtad, paganis, majusi, dan sejenisnya, maka
sembelihan mereka tidak halal.
Al Khazin dalam kitab tafsirnya mengatakan : “Para
ulama telah sepakat bahwa sembelihan orang orang majusi dan orang orang
musyrik seperti kaum musyrikin arab, para penyembah berhala, dan mereka
yang tidak mempunyai kitab, haram hukumnya.”
Dan Imam Ahmad
mengatakan : “Setahu saya, tidak ada seorangpun yang berpendapat selain
demikian, kecuali orang orang ahli bid’ah.”
5- Tidak boleh dishalatkan jenazahnya dan tidak boleh dimintakan ampunan dan rahmat untuknya.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
ولا تصـل على أحد منهم مات أبدا ولا تقـم على قبـره إنهم كفروا بالله ورسوله وماتوا وهم فاسقون
“Dan janganlah kamu sekali kali menshalatkan ( jenazah )
seorang yang mati diantara mereka, dan janganlah kamu berdiri (
mendoakan ) di kuburannya, sesungguhnya mereka telah kafir kepada Allah
dan RasulNya, dan mereka mati dalam keadaan fasik.” ( QS. At Taubah,
84).
Dan firmanNya :
ما كان للنبي والذين آمنوا أن يستغفروا للمشركين ولو كانوا أولي قربى
من بعد ما تبين لهم أنهم أصحاب الجحيم . وما كان استغفار إبراهيم لأبيه إلا
عن موعدة وعدها إياه ، فلما تبين له أنه عدو لله تبرأ منه إن إبراهيم
لأواه حليم
“Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang orang yang beriman
memintakan ampun ( kepada Allah ) bagi orang orang musyrik, walaupun
mereka itu adalah kaum kerabatnya, sesudah jelas bagi mereka bahwa orang
orang musyrik itu adalah penghuni neraka jahim, dan permintaan ampun
dari Ibrahim ( kepada Allah ) untuk bapaknya, tidak lain hanyalah karena
suatu janji yang telah diikrarkannya kepada bapaknya itu, tetapi ketika
jelas bagi Ibrahim bahwa bapaknya itu adalah musuh Allah, maka berlepas
diri darinya, sesungguhnya Ibrahim adalah seorang yang sangat lembut
hatinya lagi penyantun.”
Doa seseorang untuk memintakan
ampun dan rahmat untuk orang yang mati dalam keadaan kafir, apapun sebab
kekafirannya, adalah pelanggaran dalam doa, dan merupakan suatu bentuk
penghinaan kepada Allah, dan penyimpangan dari tuntunan Nabi dan orang
orang yang beriman.
Bagaimana mungkin orang yang beriman kepada
Allah dan hari kiamat mau mendoakan orang yang mati dalam keadaan kafir,
agar diberi ampun dan rahmat, padahal dia adalah musuh Allah ?
sebagaimana firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
من كان عدوا لله وملائكته ورسله وجبريل وميكال فإن الله عدو للكافرين .
“Barang siapa yang menjadi musuh Allah, Malaikat
malaikat-Nya, Rasul rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya
Allah adalah musuhnya orang orang kafir.” ( QS. At Taubah, 98 ).
Dalam
ayat ini, Allah telah menjelaskan bahwa Dia adalah musuh nya semua
orang orang kafir. Yang wajib bagi orang mu’min ialah melepaskan diri
dari setiap orang kafir, karena firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
وإذ قال إبراهيم لأبيه وقومه إنني براء مما تعبدون إلا الذي فطرني فإنه سيهدين .
“Dan ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada bapak dan kaumnya
: “Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu sembah, kecuali
Tuhan yang menjadikanku, karena sesungguhnya Dia akan memberi hidayah
kepadaku.” ( QS. Az Zukhruf, 26 –27 ).
Dan firmanNya :
قد كانت لكم أسوة حسنة في إبراهيم والذين معه إذ قالوا لقوهم إنا برءاؤ
منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا وبينكم العـداوة
والبغضاء أبدا حتى تؤمنوا بالله وحده
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada
Ibrahim dan orang orang yang bersama dengan dia, ketika mereka berkata
kepada kaum mereka : “sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari
apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari ( kekafiran ) mu, dan
telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama
lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja …” ( QS. Al Mumtahanah, 4
).
Untuk mencapai demikian adalah dengan mutaba’ah (
meneladani ) Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam, Allah subhaanahu wa
ta’aala berfirman :
وأذان من الله ورسوله إلى الناس يوم الحج الأكبر أن الله بريء من المشركين ورسوله
“Dan ( inilah ) suatu permakluman dari Allah dan RasulNya
kepada umat manusia pada hari haji akbar bahwa sesungguhnya Allah dan
Rasul-Nya berlepas diri dari orang orang musyrik .” (QS. At Taubah, 3 ).
6- Dilarang menikah dengan wanita muslimah.
Karena dia kafir, dan orang kafir tidak boleh menikahi wanita muslimah, berdasarkan nash dan ijma’.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
يا أيها الذين آمنوا إذا جاءكم المؤمنـات مهاجـرات فامتحنوهن الله أعلم
بإيمانهـن فإن علمتموهـن مؤمنات فلا ترجـعوهن إلى الكفار لا هن حل لهم ولا
هم يحلون لهن
“Hai orang orang yang beriman, apabila perempuan perempuan
yang beriman datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (
keimanan ) mereka, Allah lebih mengetahui tentang mereka, jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka ( benar benar ) beriman, maka janganlah
kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka ) orang orang kafir,
mereka tidak halal bagi orang orang kafir itu, dan orang orang kafir itu
tidak halal bagi mereka …”( QS. Al Mumtahanah, 10 ).
Dikatakan dalam kitab Al Mughni, jilid 6, hal 592 :
“Semua orang kafir, selain Ahli kitab, tidak ada perbedaan pendapat
diantara para ulama, bahwa wanita wanita dan sembelihan sembelihan
mereka haram bagi orang Islam …, dan wanita wanita yang murtad ( keluar
dari Islam ) ke agama apapun haram untuk dinikahi, karena dia tidak
diakui sebagai pemeluk agama baru yang dianutnya itu, sebab kalau diakui
sejak semula sebagai pemeluk agama itu, maka kemungkinan bisa
dihalalkan.” ( seperti wanita yang berpindah dari agama Islam ke
agama ahli kitab, maka diharamkan untuk dinikahi, tetapi bila wanita itu
sejak semula telah memeluk agama ahli kitab ini, maka dihalalkan untuk
dinikahi, pent ).
Dan disebutkan dalam bab “ orang murtad ”, jilid 8, hal 130 : “Jika
dia kawin, tidak sah perkawinannya, karena tidak ditetapkan secara
hukum untuk menikah, dan selama tidak ada ketetapan hukum untuk
pernikahannya, dilarang pula pelaksanaan pernikahannya, seperti
pernikahan orang kafir dengan wanita muslimah.”
Sebagaimana
diketahui, telah dikemukakan dengan jelas, bahwa dilarang menikah dengan
wanita yang murtad, dan tidak sah kawin dengan laki laki yang murtad.
Dikatakan pula dalam kitab Al-Mughni, jilid 6, hal 298 : “apabila
salah soerang dari suami istri murtad sebelum sang istri digauli, maka
batallah pernikahan mereka seketika itu, dan masing masing pihak tidak
berhak untuk mewarisi yang lain, namun, jika murtad setelah digauli maka
dalam hal ini ada dua riwayat : pertama : segera dipisahkan, kedua :
ditunggu sampai habis masa iddah.”
Dan disebutkan dalam Al-Mughni, jilid 6, hal 639 : “Batalnya
pernikahan karena riddah sebelum sang istri digauli adalah pendapat
yang dianut oleh mayoritas para ulama, berdasarkan banyak dalil, adapun
bila terjadi setelah digauli, maka batallah pernikahan seketika itu
juga, menurut pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah, dan menurut pendapat
Imam Syafii : ditunggu sampai habis masa iddahnya, dan menurut Imam
Ahmad ada dua riwayat seperti kedua madzhab tersebut.”
Kemudian disebutkan pula pada halaman 640 :
“apabila suami istri itu sama sama murtad, maka hukumnya adalah seperti
halnya apabila salah satu dari keduanya murtad, jika terjadi sebelum
digauli, segera diceraikan antara keduanya. Dan jika terjadi sesudahnya,
apakah segera diceraikan atau menunggu sampai habis masa iddah . Ada dua riwayat, dan inilah madzhab Syafi’i.
Selanjutnya
disebutkan bahwa menurut Imam Abu Hanifah, pernikahannya tidaklah batal
berdasarkan istihsan ( catatan: kebijaksanaan yang diambil berdasarkan
suatu pertimbangan tertentu, tanpa mengacu kepada nash secara khusus ),
karena dengan demikian, agama mereka berbeda, sehingga ibaratnya seperti
kalau mereka sama sama beragama Islam. Kemudian analogi yang digunakan
itu disanggah oleh penulis al Mughni dari segala segi dan aspeknya.
Apabila
telah jelas dan nyata bahwa pernikahan orang murtad dengan laki laki
atau perempuan yang beragama Islam itu tidak sah, berdasarkan dalil Al
Qur’an dan As Sunnah, dan orang yangmeninggalkan shalat adalah kafir
berdasarkan dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah serta pendapat para
sahabat, maka jelaslah bagi kita bahwa seseorang apabila tidak shalat,
dan mengawini seorang wanita muslimah, maka pernikahannya tidak sah, dan
tidak halal baginya wanita itu dengan akad nikah ini, begitu pula
hukumnya apabila pihak wanita yang tidak shalat.
Hal ini berbeda
dengan pernikahan orang orang kafir, ketika masih dalam keadaan kafir,
seperti seorang laki laki kafir kawin dengan wanita kafir, kemudian sang
istri masuk Islam, jika ia masuk Islam sebelum digauli, maka batallah
pernikahan tadi, tapi jika masuk Islam sesudah digauli, belum batal
pernikahannya, namun ditunggu : apabila sang suami masuk Islam sebelum
habis masa iddah, maka wanita tersebut tetap menjadi istrinya, tetapi
apabila telah habis masa iddahnya sang suami belum masuk Islam, maka
tidak ada hak baginya terhadap istrinya, karena dengan demikian nyatalah
bahwa pernikahannya telah batal, semenjak sang istri masuk Islam.
Pada
zaman Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wassalam ada sejumlah orang
kafir yang masuk Islam bersama istri mereka, dan pernikahan mereka tetap
diakui oleh Nabi, kecuali jika terdapat sebab yang mengharamkan
dilangsungkannya pernikahan tersebut, seperti apabila suami istri itu
berasal dari agama majusi dan terdapat hubungan kekeluargaan yang
melarang dilangsungkannya pernikahan di antara keduanya, maka kalau
keduanya masuk Islam, diceraikan seketika itu juga antara mereka berdua,
karena adanya sebab yang mengharamkan tadi.
Masalah ini tidak
seperti halnya orang muslim, yang menjadi kafir karena meninggalkan
shalat, kemudian kawin dengan seorang wanita muslimah, wanita muslimah
itu tidak halal bagi orang kafir berdasarkan nash dan ijma’, sebagaimana
telah diuraikan di atas, sekalipun orang itu aslinya kafir bukan karena
murtad, untuk itu, jika ada seorang laki laki kafir kawin dengan wanita
muslimah, maka pernikahannya batal, dan wajib diceraikan antara
keduanya. Apabila laki laki itu masuk Islam dan ingin kembali kepada
wanita tersebut, maka harus dengan akad nikah yang baru.
7- Hukum anak orang yang meninggalkan shalat dari perkawinannya dengan wanita muslimah.
Bagi
pihak istri, menurut pendapat orang yang mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu tidak kafir, maka anak itu adalah anaknya, dan
bagaimanapun tetap dinasabkan kepadanya, karena pernikahannya adalah
sah.
Sedang menurut pendapat yang mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat itu kafir, dan pendapat ini yang benar sebagaimana
yang telah dijelaskan di atas, pada fasal pertama, maka kita tinjau
terlebih dahulu :
· Jika sang suami tidak mengetahui bahwa
pernikahannya batal, atau tidak meyakini yang demikian itu, maka anak
itu adalah anaknya, dan dinasabkan kepadanya, karena hubungan suami
istri yang dilakukannya dalam keadaan seperti ini adalah boleh menurut
keyakinannya, sehingga hubungan tersebut dihukumi sebagai hubungan
syubhat ( yang meragukan ), dan karenanya anak tadi tetap diikutkan
kepadanya dalam nasab.
· Namun jika sang suami itu mengetahui serta
meyakini bahwa pernikahannya batal, maka anak itu tidak dinasabkan
kepadanya, karena tercipta dari sperma orang yang berpendapat bahwa
hubungan yang dilakukannya adalah haram, karena terjadi pada wanita yang
tidak dihalalkan baginya.
KONSEKWENSI HUKUM YANG BERSIFAT UKHRAWI.
1- Dicaci dan dihardik oleh para malaikat.
Bahkan para malaikat memukuli seluruh tubuhnya, dari bagian depan dan belakangnya.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
ولو ترى إذ يتوفى الذين كفروا الملائكة يضربون وجوههم وأدبارهم وذوقوا عذاب الحريق ذلك بما قدمت أيديكم وأن الله ليس بظلام للعبيد
“Kalau kamu melihat ketika para malaikat mencabut nyawa orang
orang yang kafir, seraya memukul muka dan belakang mereka ( dan berkata
) : “Rasakanlah olehmu siksa nereka yang membakar”, ( tentulah kamu
akan merasa ngeri ). Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu
sendiri, sesungguhnya Allah sekali kali tidak menganiaya hambaNya.” (
QS. Al Anfal, 50 –51 ).
2- Pada hari kiamat ia akan dikumpulkan bersama orang orang kafir dan musyrik, karena ia termasuk dalam golongan mereka.
Firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
احشروا الذين ظلموا وأزواجهم وما كانوا يعبدون من دون الله فاهـدوهم إلى صراط الجحيم
“( Kepada para malaikat diperintahkan ) : “Kumpulkanlah orang
orang yang dzalim beserta orang orang yang sejenis mereka dan apa apa
yang menjadi sesembahan mereka, selain Allah, lalu tunjukkanlah kepada
mereka jalan ke neraka.” ( QS. Ash Shaffat, 22 –23 ).
Kata “
أزواج ” bentuk jama’ dari “ زوج ” yang berarti : jenis, macam. Yakni :
“Kumpulkanlah orang orang yang musyrik dan orang orang yang sejenis
mereka, seperti orang orang kafir dan yang dzalim lainnya.”
3- Kekal untuk selama lamanya di alam neraka.
Berdasarkan firman Allah subhaanahu wa ta’aala :
إن الله لعن الكافـرين وأعد لهم سعيرا خالدين فيها أبدا لا يجدون وليا
ولا نصيرا يوم تقلب وجوههم في النار يقولون يا ليتنا أطعنا الله وأطعنا
الرسولا.
“Sesungguhnya Allah melaknati orang orang kafir dan
menyediakan bagi mereka api yang menyala nyala (neraka), mereka kekal di
dalamnya selama lamanya, mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun
dan tidak ( pula ) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka
dibolak balikkan dalam neraka, mereka berkata : Alangkah baiknya,
andaikata kami taat kepada Allah, dan taat ( pula ) kepada Rasul.” ( QS.
Al Ahzab, 64 – 66 ).
Berbagai Kasus Orang yang Meninggalkan Shalat
1.
Kasus ini adalah meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang, ‘Sholat oleh, ora sholat
oleh.’ [Kalau mau shalat boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak
apa-apa]. Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari hukum wajibnya
shalat, orang semacam ini dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di
antara para ulama.
2. Kasus kali ini adalah meninggalkan shalat
dengan menganggap gampang dan tidak pernah melaksanakannya. Bahkan
ketika diajak untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang semacam
ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
menunjukkan kafirnya orang yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat
Imam Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat dan tabi’in.
3.
Kasus ini yang sering dilakukan kaum muslimin yaitu tidak rutin dalam
melaksanakan shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka dia masih
dihukumi muslim secara zhohir (yang nampak pada dirinya) dan tidak
kafir. Inilah pendapat Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap lemah
lembut terhadap orang semacam ini hingga dia kembali ke jalan yang
benar. Wal ‘ibroh bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan
akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan,
“Jika seorang hamba melakukan sebagian perintah dan meninggalkan
sebagian, maka baginya keimanan sesuai dengan perintah yang
dilakukannya. Iman itu bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada
seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. … Sesungguhnya sebagian
besar manusia bahkan mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak meninggalkan secara total.
Mereka terkadang shalat dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak sekaligus. Berlaku bagi
mereka hukum Islam secara zhohir seperti pada masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi orang munafik tulen.
Maka lebih pantas lagi berlaku bagi orang yang kadang shalat dan kadang
tidak.” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
4. Kasus ini adalah bagi
orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa meninggalkan
shalat membuat orang kafir. Maka hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah dikafirkan
disebabkan adanya kejahilan pada dirinya yang dinilai sebagai faktor
penghalang untuk mendapatkan hukuman.
5. Kasus ini adalah untuk
orang yang mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia selalu rutin
dalam melaksanakannya, namun sering mengerjakan di luar waktunya. Maka
orang semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan perbuatan ini
sangat tercela sebagaimana Allah berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ (4) الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ (5
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu)
orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS. Al Maa’un [107] : 4-5)
(Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
PENUTUP
Hanya sampai di sini apa yang ingin penulis sampaikan, tentang permasalahan yang besar ini, yang telah melanda banyak orang.
Pintu
taubat masih terbuka bagi siapapun yang hendak bertaubat, karena itu,
saudaraku se Islam, segeralah bertaubat kepada Allah Subhanahu wa
Ta’ala, dengan iklas semata mata kepada-Nya, menyesali apa yang telah
diperbuat dan bertekad untuk tidak mengulanginya lagi, serta
memperbanyak amal ketaatan.
Allah subhaanahu wa ta’aala berfirman :
إلا من تاب وعمل عملا صالحا فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات وكان الله غفورا رحيما ومن تاب وعمل صالحا فإنه يتوب إلى الله متابا
“Kecuali orang orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan
amal shaleh, maka kejahatan mereka diganti dengan kebajikan, dan Allah
adalah maha pengampun lagi maha penyayang, dan orang yang bertaubat dan
mengerjakan amal shaleh, maka sesungguhnya dia bertaubat kepada Allah
dengan taubat yang sebenar benarnya.” ( QS. Al Furqon, 70 – 71 ).
Semoga
Allah melimpahkan taufikNya kepada kita dalam urusan ini, menunjukkan
kepada kita semua jalan-Nya yang lurus, jalan orang orang yang
dikaruniai keni’matan oleh Allah, yaitu para Nabi, shiddiqin, syuhada
dan shalihin, Bukan jalan orang orang yang dimurkai atau orang orang
yang tersesat.